Masa depan pendidikan mereka cerah jika tidak terbentur dengan biaya mahal.

10 Maret 2007

Alun-Alun, Ciaklat, Ngendat

Setiap kali harga tembakau anjlog, orang Parakan, tidak saja para taoke, tapi juga para gaok pribumi akan selalu bilang,”wah ciaklat tenan ini”, artinya ciloko tenan.

Barangkali ciaklak tenan kini sedang jadi ungkapan paling favorit bagi puluhan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilarang jualan di alun-alun Temanggung. Pasalnya, ruang publik yang hanya secuil itu ditutup untuk umum. Kata teman saya, ”iki kebijakan yang merampas hak orang kecil.“
Katanya lagi, kalau memang ingin mengembalikan fungsi alun-alun mbok yang digusur itu lho bank BCA karo gedung DPRD sak isine, nek perlu dipindah neng kono (sambil tangannya menunjuk ke arah Rumah Tahanan di sebelah barat alun-alun). Gedung Dewan karo BCA kae biyen lak yo alun-alun sing didol karo bupati lawas to ?”

Sekitar tahun 1970an, alun-alun terdiri dua petak, bawah dan atas. Lalu pada jaman bupati waktu itu, alun-alun bawah ‘dijual’. Nah pada jaman bupati berikutnya, kembali ditebus, dengan kompensasi separohnya tetap boleh dibangun sebagai kantor Bank dan separohnya dibuat gedung wakil rakyat.

Jaman Totok Ary Prabowo, alun-alun dibuka untuk kepetingan publik, dipasangi lampu warna-warni dan sokle. Konon, setiap proyek seperti ini, setiap bupati mendapat untung besar. Nah, sekarang siapa yang untung? Setan gundul yak’e.

Para pedagang es teler, bakso, mie ayam, jagung bakar, rokok, tahu dan tempe goreng dan pedagang mainan anak-anak, nasibnya kini benar-benar ciaklak. Mereka orang-orang kecil, selalu dikalahkan oleh pejabat. Sekedar mencari sesuap nasi yang halal saja susahnya minta ampun. Beda dengan pejabat, yang gampang dapat duit secara aman. Bahkan dapat uang haram pun tetap aman. Buktinya, para tersangka di Gedung Dewan itu tetap saja aman sampai sekarang.

Peraturan Bupati (Perbup) Temanggung No 40/2006 (barangkali bakal dicabut karena diprotes PKL) melarang semua kegiatan komersial, kegiatan olah raga, seni budaya, kegiatan sosial, bahkan kegiatan keagamaan yang menggunakan sponsorhsip serta mendirikan panggung memang program bagus.

Lho kok? Sebab dengan begitu menciptakan pekerjakaan bagi Satpol PP. Nah, nanti kalau PKL pindah dari alun-alun, otomatis mereka akan berjualan di jalan-jalan. Dengan begitu Satpol PP dapat proyek ‘grebekan’ setiap mereka butuh duit. Kalau perlu grobag PKL dirampas.

Kalau PKL jadi gelandangan karena tak punya pekerjaan, toh Satpol PP akan semakin untung. Semakin banyak gelandangan semakin banyak proyek. Nek perlu para PKL itu ben mati ngendat koyo Sukardal, tukang becak asal Majalengka yang gantung diri di pohon beringin tengah kota Bandung gara-gara becaknya dirampas petugas Ketertiban Umum (Tibum) tahun 1986 silam. Kalau ratusan PKL di Temanggung pada mati ngendat itu kan artinya pemerintah berhasil mengurangi jumlah kepadatan penduduk. Iyo ra?

Lha piye, keberadaan PKL di alun-alun yang sebenarnya tidak bermasalah dianggap mengganggu keindahan, kebersihan, keamanan dan bahkan lalulintas. Lalu jalan untuk naik ke alun-alun dipalang besi, pintunya dibuat kokoh susah dibuka.

Aku mikir, kalau memang alun-alun mau dijadikan ruang eksklusif (bukan ruang publik), apa sebaiknya tidak dibuat benteng model kraton sekalian? Supaya, rutan, rumah bupati, gedung dewan jadi satu dan tertutup untuk umum. Ben nek rembugan gampang tur biso karo umpetan. Dengan begitu semua nampak indah, nyaman dan aman.

Lalu, anak-anak muda yang suka latihan theater di alun-alun itu dipindahkan saja sekalian gabung bermain sandiwara bareng anggota DPRD di gedung dewan. Lha piye, gedung kesenian ora ono, sarana olahraga terbatas. Terus, nek wong Kepatihan, wong Suronatan dan sekitarnya arep bal-balan? yo mbuh!

Lha, terus nek arep golek angin karo ngronde atau makan jagung bakar neng dhi? Yo ben nongkrong wae nang trotoar atau ngarep Pasar Kliwon, karo nonton video porno pelajar. Lantai atas pasar yang masih bermasalah itu kan banyak digunakan kegiatan mesum. Bahkan, kabarnya, klip video porno yang sekarang ini beredar di tangan pelajar dan guru melalui HP, pelakunya dua pelajar Temanggung. Ceweknya masih pakai seragam sekolah negeri. Hebatnya,....menilik tayangan nggegirisi itu, ‘shooting’nya dibuat di lantai atas Pasar Kliwon.

Kita, rakyat biasa ini butuh ruang publik. Jika Peraturan Bupati itu tidak dicabut, berarti tak ada lagi ruang publik, termasuk untuk para PKL. Masalah PKL itu bukan sekadar soal tempat jualan, melainkan penyediaan lapangan kerja. Selama pemerintah dan DPRD tidak bertindak cerdas menyediakan lahan pekerjaan bagi rakyatnya, tetap saja persoalan PKL tidak akan pernah teratasi.

Ciaklat tenan kok.

MOHAMMAD AS’ADI
Penulis adalah Penyair.
Bekerja sebagai wartawan;
Perajin Rokok Bodong, Temanggung

0 komentar:

 
© Original template design: BlogspotTutorial - modifite by Andy Yoes