Masa depan pendidikan mereka cerah jika tidak terbentur dengan biaya mahal.

16 Juli 2008

Ora Duwe Isin

Ingin tahu sejauh mana rusaknya mentalitas orang kita? Caranya gampang. Temui anak-anak lulusan SMA atau Sarjana. Menganggur atau tidak menganggur sama saja. Tanyakan dengan gaya agak meyakinkan begini; “Mau proyek?”

Saya yakin seyakin-yakinnya, jawabannya adalah, “proyek opo wae enyong gelem. Asal maregi” Begitu juga saat mereka ditawari pekerjaan, kebanyakan akan menjawab, “kerjo opo wae gelem. Sing temping dadi duit.”Dialog seperti ini pasti sudah seringkali terjadi. Barangkali diantara Anda sekalian sudah merasakan hal ini. Untuk kasus ini saya hanya bisa membatin dengan penuh pujian; “hebat sekali orang-orang Temanggung kita. Apapun bisa dilakukan dan mau dikerjakan. Tawaran proyek apapun seolah-olah jadi mudah di tangan anak-anak muda Temanggung.”

Namun semenjak ketemu Mbah Gatot Surono, sang Kakek asal Purbalingga, mendadak pikiran blo’on saya kebongkar. Kehebatan anak-anak muda Temanggung yang mayoritas keturunan petani itu ternyata nggedebush.

“Pir, tak kandani,” katanya menasehatiku. Sekarang ini Indonesia benar-benar sudah rusak. Meminjam istilah orang mBanyumasan generasi kita ini bercuk, alias apa-apa mau. Dikasih ini mau, dikasih itu mau, apa saja diemplok. Diwenehi kangkung gelem, diuncali balung yo dicaplok. Sampah pun mau!. Kita ini sudah dibuat goblok segoblok-gobloknya supaya mudah dijajah. Sumber alam dijajah, manusianya juga dijajah, kabeh digawe goblok ben dari penurut,”tuturnya dengan nada berapi-api.

“Waduh mbah. Jangan marah gitu dong. Sabar dong Mbah,”sahut saya reflek menahan amarahnya. Tapi saran saya tidak mujarab. Apa yang disampaikan Mbah Gatot sudah menjadi fakta yang tidak satupun retorika bisa membendungnya.

Mental bisa diartikan dengan kejiwaan, kerohanian; intelektual, psikis, psikologis, serebral, bisa juga diartikan batin atau moral. Sedangkan mentalitas maknanya bisa karakter, personalitas atawa watak.

Duh, kalau kerusakan sudah mengarah pada mentalitas jelas tidak mudah diperbaiki. Sebagai contoh, saya ini bermental gemblung dengan pola hidup yang saya desain sendiri. Dengan kesadaran kegemblungan itu seharusnya saya lebih mudah memperbaiki. Tapi itu pun sulit diperbaiki. Bagaimana dengan orang yang tidak menyadari dirinya gemblung?

Fakta dalam dunia kerja kita sekarang tidak lagi memiliki asas kompetensi maupun profesi. Asal jadi uang semua bisa dilakukan. Jangankan mencari profesi sesuai dengan kemampuan, kerja kuli saja susahnya minta ampun. Jangan pernah ngomong soal gelar kalau kerja makelar saja susahnya enggak ketulungan.

Dus, jangan heran kalau para gemblung-gemblung yang tidak menyadari dirinya gemblung di gedung DPRD itu kembali mengambil formulir pencalonan legislatif. Belum juga dievaluasi apakah sudah benar-benar mengabdi kepada rakyat langsung main comot ambil formulir dan memastikan menjadi caleg 2009.

“Kerja apapun mau, termasuk nyaleg,” kata Mas Kunthing. Katanya, “segoblok-gobloknya orang, ya mereka yang tidak ikut ambil bagian mendaftar jadi anggota DPR. Kurang apa hayo….Gaji boleh standar, tapi tunjangan dan samberannya berlipat-ganda. Belum lagi tambahan uang kunjungan kerja dengan bonus-bonusnya.

Amboi. Berakit-rakit ke hulu/Bersenangnya kapan kapan/Rakyat sakit didera orde baru/Di zaman sekarang jadi bulan-bulanan/Kalau ada sumur di ladang/Jangan diintip orang yang mandi/Anggota DPR akalnya panjang/Demi kursi rela nyuap dan ngapusi.

Keserakahan merusak alam. Kerusakan alam berakibat kerusakan pikiran dan jiwa manusia. Sumber daya alam yang terkikis membuat generasi semakin pusing mencari rejeki. Kefakiran merontokkan iman. Agama bukan lagi alat membebaskan manusia dari perbudakan materi, melainkan justru jadi komoditi mencari rejeki.

Tak ada tempat bagi perkembangan mental yang baik di dunia yang kondisi materinya tidak baik. Prinsip hidup manusia memang tidak bisa lepas dari kebutuhan material dan spiritual. Jika salahsatu di antaranya timpang, mental manusia bisa rusak. Kondisi perut yang tidak tercukupi akan membuat orang tak akan bisa nyaman memikirkan yang-hal yang ‘spiritual’ (Tuhan, agama, sosial, politik dll).

Tanpa pekerjaan, manusia jadi makhluk terasing dari kehidupan. Karena itu jangan heran kalau di masa sulit kerja sekarang ini pikiran para pengangguran sangat simple; apapun pekerjaannya, berarapun upahnya, yang penting kerja.

Semakin lama terasing dari akses kehidupan, manusia semakin kehilangan kendali, termasuk kendali moralnya. Semakin miskin, semakin ora duwe isin. Kebanyakan pejabat kita, termasuk anggota DPR/D dulunya miskin dan susah mencari pekerjaan.

Begitu mendapat kursi, maka kesempatan untuk bertahan harus dilakukan. Kemiskinan yang ia bawa sejak merintis karir jadi politisi itulah yang membuat mereka memiliki mental ora duwe isin. Bahkan sampai dirinya kaya pun mentalitas ini tetap bertahan.

Ora duwe isin yang sudah menjadi tren di kalangan rakyat, terutama para pengangguran jelas bukanlah persoalan moral semata, melainkan persoalan ekonomi yang timpang disertai sikap a-moral para petinggi kita.

Kalau masalah mental buruk ini berada di kalangan rakyat jelata barangkali masih dimaklumi. Namun tidak ada kata maklum bagi penguasa yang seharusnya mengentaskan kemiskinan ekonomi dan kemiskinan moral.

Eh, ngomong-ngomong, tetangga saya pernah bilang, “Hai Kopir, kamu ini memang ora duwe isin kok. Mosok kawit cilik tekan tuo kere terus? Ini jaman merdeka Pir. Mbok ya rumah mewah mobil mewah. Wis kere rai gedhek sisan. …”

Waduh. Saya tak bisa menjawab apa-apa. Kepala saya pusing tujuh keliling mendengar ucapan ini. Celila-celili dan hanya mampu membatin, “kalau sudah tidak punya rasa malu berbuatlah semaumu....”

0 komentar:

 
© Original template design: BlogspotTutorial - modifite by Andy Yoes