Masa depan pendidikan mereka cerah jika tidak terbentur dengan biaya mahal.

24 Agustus 2008

Putri Celeswati

Temanggung 08-08-2888
Alkisah, 880 tahun yang silam. Pagi hari, di sebuah rumah bilik kawasan lereng gunung Sumbing Temanggung, Sukri, seorang bapak sedang menimang bayinya. Sang istri yang sedang menyuci popoknya terpaksa menunda pekerjaannya di ladang karena pasangan suami-istri ini hanya hidup serumah berdua.

Bayi itu ia beri nama Putri Celeswati. Lahir pukul 8:88 WTS (Waktu Temanggung Selatan) tanggal 8-8-08. Waktu, tanggal, bulan dan tahun kelahiran anak pertamanya ini bukanlah rekayasa kelahiran. Ini benar-benar terjadi. Saking sahih kebenarannya, koran kuno terkemuka di Yogyakarta yang punya rubrik sungguh-sungguh terjadi pun sungguh-sungguh dibuat tidak percaya dan sampai sekarang belum memuat kejadian ini.
Sungguh-sungguh terjadi. Media massa 880 tahun silam malah lebih suka memberitakan berbagai kisah para kaum borjuasi genit yang memitoskan angka cantik 8-8-08. Tanpa tahu kentang-kimpulnya, ratusan orang menikah pada tanggal itu. Lebih edan lagi, ibu-ibu yang hendak melahirkan belum titi mongso jebrol si jabang bayinya nekad memaksakan diri operasi perut agar anaknya lahir pada jam 8 tanggal 8 bulan 8 tahun 2008.
Sebuah Koran Desa saat itu mengambarkan situasi Temanggung 880 tahun silam dengan ringkasan sosiologis yang sering dikutip para ahli sejarah masa kini;
"Penduduk Temanggung mencapai 700ribu jiwa. Alam desa memiliki aset-aset terpendam; sumber air melimpah di lereng gunung. Tanah subur menghasilkan panen melimpah. Secara umum mentalitas petani adalah pekerja yang rajin dan tahan banting. Mentalitas mereka telah teruji menjadi manusia berbudi pekerti. Sayangnya, mayoritas ini dirusak oleh mereka para pemimpin negara dan elit feodal yang jumlahnya hanya 2 persen dari jumlah penduduk. Elit-elit politik dan elit feodal memainkan peranan yang strategis dengan kemalasan dan mentalitas pragmatis yang akut. Perut buncit kekenyangan tapi enggan bekerja keras. Akibatnya petani di tanah sumbur ini hidupnya terpuruk berkepanjangan. Anak-anak petani samangking lama samangking jauh dari bumi yang menghidupi mereka. Pilihannya adalah menjadi kuli-kuli di kota. Sebagian yang bisa lepas dari kasta bawah karena memiliki ijazah mentalnya juga kuli di kantor-kantor negara. Menjadi Pegawai sipil adalah impian yang mewah. Untuk mendapatkannya mereka tak memperdulikan halal haram. Suap menyuap untuk menjadi abdi negara menjadi kebiasaan. "
Temanggung pada 880 tahun silam adalah cermin peradaban politik Jawa yang paling Jawa. Politik bukanlah tujuan pengaturan tata kehidupan masyarakat, melainkan sebagai tata perebutan tahta masing-masing golongan. Di daerah ini, pernah seorang bupati digorok lehernya oleh kelompok oposisi karena ia lebih suka menjilat penjajah Hindia-Belanda ketimbang membela nasib petani.
Kurun waktu yang cukup lama penggantinya adalah bupati-bupati yang memimpin dengan pola feodal dan cari aman. Kemudian muncul kegerahan lagi. Hura-hura politik biasanya berujung pada kudeta. Di Temanggung, setiap kali seorang bupati berlaku edan pasti digusur oleh rakyat. Setelah bupati tergusur, bupati baru yang ikut melakukan kudeta memimpin dengan pola semau dia. Kekuasaan baginya adalah kursi panas yang harus dipertahankan untuk kepentingan kelompoknya. Baru kemudian setelah bupati ini turun karena tidak disukai rakyat, pemimpin budiman muncul untuk sebagai tukang cuci piring atas problem-problem lama. Rakyat yang frustasi oleh pemimpin bergaya politisi memilih bupati yang cerdik cendekia; cerdas pikirannya, kuat imannya dan budiman buah hatinya.
Sesekali Temanggung punya pemimpin yang mengabdi kepada rakyat dengan kewibawaan dan kepribadian yang baik. Pemimpin bijak ini cukup tahan banting dari bisikan para setan di parlemen maupun hasutan-hasutan para penjilat. Akal budi menjadi pijakan yang kokoh untuk terus memperjuangkan nasib rakyat. Kepentingan rakyat adalah segala-galanya, sedangkan kepentingan politisi tak terlalu penting amat.
Habis manis sepah dibuang. Setelah bupati baik turun tahta dengan kehormatan, pelanjutnya biasanya tak cukup kuat meneruskan warisan politik bijak sang bupati. Masing-masing golongan hanya mampu menjadi pemimpin kelompoknya sendiri. Parahnya lagi, banyak pemimpin karbitan yang muncul di dari hasil reproduksi media dan kaderan prematur dari partai politik yang tidak terurus secara baik.
Kepemimpinan bangsa Jawa di wilayah Temanggung adalah siklus politik yang berulang-ulang terjadi. Beberapa periode pemerintahan Temanggung selalu dijalankan oleh bupati yang tak merasakan derita rakyatnya, dan hanya satu periode dipimpin oleh sosok yang baik. Seolah-olah takdir berkata; "kebaikan hanyalah warna polesan dari dasar keburukan."
Dalam situasi terpuruk dan tak jelas arah kehidupan orang-orang lari tunggang langgang mencari jati diri. Akal budi yang tak mendapatkan tempat mengakibatkan klenik, mitos, tahayul menjadi tambatan yang nyaman. Orang-orang susah mendapat pasokan pemikiran sehat sebagai pedoman hidupnya.
Seluruh hidup, seluruh nafas dalam abad 21 di negeri melayu yang luas dulu kala selalu dipenuhi air mata rakyat jelata. Dari Sabang sampai Merauke tangisan dan makian menjadi bagian hidup sehari-hari.

Nyong Ambon bernyanyi sendu:
Sarinande, Putri Sarinande
Mengapa tangis matamu bengkak?
Aduh mama, aduhlah papa
Bak asap api masuk dimata
Aduh mama, aduhlah papa
Hati risau apakah obatnya?


Wong Manggung bernyanyi wagu:
Celeswati, Putri Celeswati
Mengapa pilek irungmu bumpet?
Aduh biyung, aduhlah bapak
Koyo watu nyumpeli irung
Aduh biyung, aduhlah bapak
Jaman merdeka, kahanan sikak

0 komentar:

 
© Original template design: BlogspotTutorial - modifite by Andy Yoes