Oleh Lik Kopir
Kepalaku berat. Lama sekali aku berada di dalam liang kubur, setelah orang-orang menduga aku mati ngendat. Aku memang mengantung diri saat itu. Tujuanku agar penggulingan Totok Ary Prabowo alias Hardjo Sokle itu segera terlaksana. Maklum, waktu itu Hardjo Sokle sulit sekali digulingkan.
Aku sekarat akibat tali plastik yang menjerat leherku. Tapi aku tak mati, hanya semaput. Orang-orang menguburku, tanpa memandikan tubuhku, tanpa upacara keagamaan. Mereka menganggap bunuh diri adalah praktek terkutuk.
Aku berdiam diri dalam kubur sampai tiga hari. Tadinya aku akan bongkar sendiri kuburku dari dalam. Tapi entah kenapa, tiba-tiba dari atas suara gacrukkan cangkul terus memburu, semakin lama semakin jelas. Dan aku yakin, itu adalah kerjaan maling. Sebab tak mungkin warga membongkar kuburan tanpa alasan yang jelas.
Aku jadi ingat kisah tentang dua bajingan asal Kedu. Ya, Sarjono dan Tukiyo, dua sosok maling terkemuka di Temanggung yang gemar mencuri barang unik dari mayat-mayat di kuburan pecinan. Amboi. Pasti mereka bermaksud mengambil gigi emasku. Ini tentu kesempatan buatku. Begitu mereka berhasil membuka liang lahat, aku teriak. Mereka pun lari terbirit-birit. Supaya orang-orang tidak heboh, sengaja aku kembalikan tanah kuburan sebagaimana mestinya.
Malam itu juga aku bersihkan badan di kali Galeh yang tak jauh dari kuburanku. Setelah bersih, aku langsung cari pakaian untuk mengganti mori. "Mosok wong urip mlaku koyo mayit?"
Terpaksa aku nyolong baju dan celana dari jemuran orang. Setelah sandang kudapat, perut menuntut. Rasa lapar aku ganjal dengan sayuran sawah. Beberapa ratus meter aku melangkah, aku dapatkan banyak buah semangka. “Ciak langsung, tanpo nembung!”
Sekarang aku telah kembali ke alam nyata. Aku menjadi gelandangan di Alun-alun Temanggung. Orang-orang sudah tidak mengenalku, karena wajah dan tubuhku nyaris berubah total. Ini adalah keberuntunganku. Ngeri rasanya jika mereka tahu aku bangkit lagi. Jangankan ibu-ibu DPRD Temanggung yang genit-genit itu. Sang Bupati yang tampangnya mirip gendruwo pun pasti takut kalau ketemu mayat hidup seperti aku.
Aku dianggap orang gila karena sering tidur di alun-alun. Kemarin aku mencoba tidur di Masjid Agung Darrussalam, tapi orang-orang langsung mengusirku. Seolah-olah rumah Tuhan hanya untuk orang-orang bersih. Maklumlah, pemahaman kegamaan mereka dangkal. Ya, begitulah watak orang beragama sekarang; elitis, sok bersih, menganggap rumah Tuhan hanya milik mereka, padahal Tuhan memandang semua orang sama. Bahkan lebih dari itu, orang gila akan temptnya di surga, sedangkan koruptor ahli neraka. “Nek ngono, sopo sing edan?”
Di alun-alun kecil ini aku mendapat banyak ilmu dari perilaku kehidupan, mulai dari pejabat, ulama, pedagang, tukang parkir, sopir angkudes, dan banyak lagi. Selain dapat ilmu, kadang aku dapatkan hiburan gratis. Kemarin anak-anak SMP itu bergerombol bertempik-sorak usai lulus ujian. Corat-coret baju, teriak waton njeplak, menyanyikan lagu aneh. Satu anak berteriak; "mbok Sarijem!,” lalu disambut koor; “mbut!” dolanan dakon....nang alun-alun.... bla….bla….bla.... “
Entahlah, aku tak paham maksudnya. Yang jelas lucu gitu loh!
Aku prihatin banget dengan anak-anak muda
Jangankan olahraga, bidang ekonomi pun tidak kunjung mereka perhatikan. Aku kira para pejabat itu sebenarnya bukan tidak mau, tapi benar-benar tidak mampu mengatasi persoalan riil rakyat Temanggung. SDM para anggota DPR dan Pemda tidak mumpuni untuk mengurus perekonomian di zaman globalisasi sekarang ini; kolot, tak punya visi, tapi rakus kekuasaan.
Aku tak habis pikir, kenapa para pejabat itu tega nian menindas tetangganya sendiri. Setiap pemilu berebut kursi, tapi tak pernah mengaca diri. Syahwat kekuasaan membuat pikiran dan jiwa mereka bebal. Kemampuan organisasi minim kok mimpin masyarakat. Ngakune nasionalis kok ra paham privatisasi ekonomi. Ngakune demokrat dikritik kok muring-muring. Ngakune penegak syariat Islam kok doyan barang haram. Ah…ah, jare awan kok peteng. Ngakune perawan kok meteng.
Hardjo Sokle sudah masuk penjara. Aku bersyukur! Sayang, penggantinya adalah Hardjo Sokle ke-2, Mukhamad Irfan, politisi oportunis, anti aspirasi rakyat. Ah, ini sih bukan berita. Setiap pejabat di negeri ini mentalnya memang sudah busuk-busuk semua.
Inilah aku, Kopir. Aku belum mati!. Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Ingin kembali bersama rakyat, menyadarkan kepada semua petani, buruh, bahwa pejabat-pejabat itu tak pantas menjadi pemimpin mereka.
Pak pejabat, lengo klentik larang regane. Anake Juminem masuk angin njaluk kuwik ora keturutan. Ha sampeyang kok blonjo mruput bar studi banding?
Mikir pak, mikir….!
0 komentar:
Posting Komentar