Dalam sebuah kekuasaan, -baik itu kekuasaan dalam bentuk kerajaan maupun negara-bangsa,- konsep pembagian teritorial adalah bagian terpenting dari sejarah kekuasaan itu sendiri. Di Kerajaan Mataran abad 17, Sultan Agung membagi wilayah Mataram secara konsentris dalam tiga bagian: Kutanegara (Kutagara), Negara Agung, dan Mancanegara. Kutanegara merupakan daerah di pusat pemerintahan, yakni keraton Mataram. Negara Agung, sebagai daerah lingkaran ke-2, berada di sekeliling pusat pemerintahan. Sedangkan Mancanegara berada di luar daerah Nagara Agung. Wilayah ini terletak paling pinggir dari kekuasaan Mataram.
Pemerintahan Mataram membagi wilayah-wilayah tersebut dengan memperhatikan letak sungai, gunung dan hutan. Bahkan, di beberapa desa, randu alas juga digunakan untuk menandai batas suatu wilayah. Batas-batas alam ini sampai sekarang masih dijumpai dan digunakan.
Wilayah Kedu (Temanggung) termasuk dalam wilayah Negara Agung di samping Siti Ageng, Bumi Gede, Bagelen, dan Pajang. Wilayah Kedu dibagi lagi menjadi dua bagian: Siti Bumi dan Bumijo. Siti bumi terletak di sebelah barat sungai Progo. Sedangkan Bumijo berada di sisi timur Progo.
Wilayah Mancanagara terbagi atas Mancanegara Wetan dan Pesisiran. Mancanegara Wetan meliputi daerah yang kini menjadi wilayah Kabupaten Klaten, Boyolali, Salatiga, Sragen, Madiun, dan Ngawi. Sedangkan Pesisirian digunakan untuk menyebut daerah di sepanjang pantai utara Jawa seperti Blora, Jepara, dan Demak.
Wilayah kekuasaan yang konsentris seperti itu ternyata berpengaruh pada kemajuan wilayah. Daerah-daerah di Kutanagara lebih maju dibanding dengan daerah Negara Agung. Daerah di Negara Agung lebih maju dibanding daerah Mancanegara. Semakin jauh dari pusat pemerintahan, semakin tertinggal wilayah tersebut. Tapi semakin dekat dengan pusat kekuasaan semakin majulah daerah tersebut.
Di Kutanegara, pusat-pusat militer, jalan, taman hiburan untuk raja dan sarana lain terus dibangun. Sementara daerah Negara Agung dan Mancanegara menjadi penyedia bagi kebutuhan Kutanegara. (Denys Lombard, 2000, “Nusa Jawa: Silang Budaya 3). Sultan Agung “melupakan” jasa daerah-daerah pinggir dalam sistem kekuasaanya.
Wilayah Negara Agung dan Mancanegara hanya menjadi penyokong bagi kekuasaan yang terpusat di Keraton Mataram. Temanggung dan Magelang (Kedu), yang termasuk Negara Agung, menjadi lumbung beras bagi Mataram.
Sementara daerah Pesisiran menyediakan bahan makanan berupa ikan. Hasil perikanan laut pesisir utara jauh lebih besar dibandingkan dari nelayan-nelayan di sekitar pantai selatan Jawa. Ombak yang besar di laut selatan, menyebabkan tangkapan ikan para nelayan sedikit.
Agung DH, Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Memakna Ulang Sistem Macapat
Jika Keraton Mataram menganut lingkaran kekusaan konsetris, maka di desa Jawa (termasuk Temanggung kuno) mengenal adanya sistem macapat (membaca dari empat). Macapat merupakan padangan terhadap dunia (kosmos) berdasarkan arah mata angin. H
Masing-masing warna memiliki sifatnya masing-masing. Putih adalah warna ketenangan batin; merah adalah warna amarah; kuning adalah simbol keinginan; dan hitam adalah warna kecemburuan. Bagi orang Jawa kuno, masing-masing warna itu merupakan simbol terhadap sifat-sifat dasar manusia. (Denys Lombard, 1996: 100-101)
Sistem macapat tersebut juga berkaitan dengan hari pasaran Jawa. Tengah bermakna kliwon; utara bermakna wage; selatan bermakna pahing; timur bermakna legi; dan barat bermakna pon. Bukan hal aneh ketika Temanggung yang dikelilingi kecamatan-kecamatan lain disebut Pasar Kliwon sebab letaknya memang di tengah.
simbol-simbol yang disebutkan di atas merupakan bentuk pemahaman orang Jawa kuno terhadap jagad alit. Jagad alit, atau mikrokosmos diartikan sebagai hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Hubungan antar manusia di dunia untuk mengarah pada jagad gede (makrokosmos): Tuhan Yang Esa.
0 komentar:
Posting Komentar