Masa depan pendidikan mereka cerah jika tidak terbentur dengan biaya mahal.

29 Juni 2006

Didik Nini Thowok:

Koreografi, Lintas Gender, Kali Kuas……………


Di mana seniman Didik Nini Thowok (52) saat terjadi gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah? "Saya tetap di Yogya, tapi keluarga saya ungsikan semua ke Brojolan Temanggung," katanya.

Wah. Bagi Didik yang bernama asli Didik Hadi Prayitno, Temanggung masih tetap menjadi semacam pelabuhan tempat kapal bersandar, atau oase di padang pasir yang panas.

Sambil batuk-batuk (usai terkena embusan angin Kanada), Didik bertutur, gempa bumi berkekuatan 6,2 skala Richter (berdasarkan pantauan satelit milik Amerika Serikat) membuat ibu, bapak, dan adik-adiknya yang kebetulan sedang ngumpul di rumahnya di Jatimulyo Yogyakarta "berhamburan" ke luar rumah. Mereka bahkan lari sampai ke Jalan Magelang saat isu tsunami muncul.

“La aku yang paling terakhir mlayu, soale nutup-nutup lawang sik, menghindari kemungkinan penjarahan. Aku langsung naik motor bersama adik ipar. Di jalan, kami ketemu polisi, yang lalu mengatakan kalau tsunami itu hanya isu. Tiwas udah lari-lari sampai jauh,” tutur kelahiran Temanggung, 13 November 1954 ini.

Beberapa hari di Brojolan, putra didik, Aditya (usia dua tahun), dibawa lagi ke Yogyakarta. Namun, gempa belum mereda. Gempa-gempa skala kecil masih kerap terjadi sehingga Aditya diungsikan lagi ke Brojolan.

Praktis, sejak gempa bumi melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah, Didik belum sempat beristirahat. Dua hari setelah itu, ia harus terbang ke Kanada untuk pagelaran tari bertajuk Tranceformation, sebuah pertunjukan lintas gender Internasional yang digelar Canadian Asian Dance Festival di Kanada.

“Saya pulang ke Yogyakarta tanggal 15 Juni, dan sehari kemudian ke Jakarta untuk pertunjukan tari. Setelah itu, saya harus menari lagi untuk mencari dana bagi korban gempa. Jan, rung istirahat blas. Makanya, saya batuk-batuk terus, masuk angin,” paparnya.

Lintas Gender

Mengenai Tranceformation, sudah tiga kali ini Didik dilibatkan oleh Kanada. Ia menggandeng Eli, cucu Bu Rasinah, penari asal Indramayu yang sekarang sudah tua. Didik memerankan tokoh perempuan, sedangan Eli menjadi sosok lelaki. Ini yang disebut sebagai cross-gender itu. “Herannya, selalu saya yang diminta memerankan perempuan. Mungkin memang tinggal saya yang mau melakoni peran itu, lelaki yang menjadi perempuan, sampai orang selalu mengidentikkan saya dengan banci, ha ha ,” ucapnya.

Didik masih menggebu-gebu berkisah tentang pertunjukannya di Kanada. Yang nonton, katanya, justru kebanyakan orang asing, bule-bule. Orang konsulat Indonesia yang hadir justru hanya beberapa orang saja. “Luar biasa sambutan orang luar negeri terhada tarian dari Asia, termasuk Indonesia,” katanya. Barangkali karena ada sesuatu yang khas dengan tarian Didik, yang tak hanya membawa tradisi Jawa dan nusantara, namun juga perpaduan banyak sekali unsur seni tradisi dan kontemporer sekaligus. Jadi lah, tarian ala Didik, yang menggugah perasaan, dengan kelenturan gerak tubuh, kelembutan lakunya, kelentikan jemarinya, juga ekspresi wajahnya.

Koreografi Didik sudah banyak digelar di hadapan para petinggi negara manca mulai dari Presiden Vietnam, Perdana Menteri Jepang, hingga Presiden Namibia. Itu belum termasuk sejumlah pagelaran dan tur ke luar negeri, sebut saja dua diantaranya, ke Spanyol dan Amerika Serikat. Ia juga berkolaborasi dengan berbagai pertunjukan teater, gamelan, hingga musik kontemporer. Belakangan, Didik terlibat dalam pertunjukan ketoprak olahan Ketoprak Ringkes Tjap Tjonthong Yogyakarta yang dimotori Romo Sindhunata, pemimpin redaksi majalah Basis.

Nostalgia

Berbincang mengenai Temanggung dengan Didik, sungguh asyik. Saking banyaknya kenangan akan Temanggung, ia sampai bingung mau mulai dari mana bercerita.

Yang pasti, sebagain besar masa kecil dan remaja ia lalui di Temanggung. Lulus SMA 1 Temanggung tahun 1972, Didik sempat bekerja satu tahun di Kantor Pembinaan Kebudayaan Temanggung (semacam Dinas Kebudayaan waktu itu). Tahun 1974, Didik meneruskan kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta. ASTI kini berubah menjadi Institut Kesenian Indonesia (ISI) yang beralamat di Sewon Bantul (yang kini, duh........hancur lebur terguncang gempa).

Jika menyambangi orangtua di Brojolan, yang pertama kali ditanyakan adalah empis-empis tempe dan krecek buatan Mbok Benik. “Wis methi, kuwi sing tak jaluk sik. Sampai sekarang, saya harus makan masakan Mbok Benik kalau pulang. Enak je...”.

Temanggung dan kenangan masa kecil...... mmmmmm...... yang paling diingat Didik adalah saat buang hajat (alias be’ol) di Kali Kuas. Waktu itu, katanya ia belum mempunyai WC sendiri, jadi selalu be’ol di Kali Kuas (yang ini sepertinya Didik berbohong deh. Masak gak punya WC? Masak nggak ada WC umum atau blumbang? —red). Ia lalu ngumpet di balik bebatuan besar.

Didik pun mengenang, “Masak, waktu itu to....langit tidak mendung blas, apalagi hujan. Lagi asyik be’ol, tiba-tiba air kali kok berubah coklat dan makin membesar. Banjir................ Saya langsung lari terbirit-birit.....Le nganggo katok karo mlayu. Wah, jan, pengalaman itu......tak pernah saya lupakan, ha ha ha”.

Didik, kini menjadi salah satu ikon Temanggung (jika boleh saya menyebut begitu). Puluhan karyanya telah dikenal dunia. Namun, dengan rendah hari ia mengaku salut dengan komunitas anak muda yang masih mau “berbuat” untuk Temanggung. “Selamat atas kelahiran STANPLAT TEMANGGUNG,” katanya, meski sambil ngikik kok namanya lucu..... He he he (iv)





0 komentar:

 
© Original template design: BlogspotTutorial - modifite by Andy Yoes