Pagi itu suasana Agustusan di dusun-dusun seluruh Temanggung nampak meriah menyambut pesta 17 Agustusan. Sri, seorang gadis cilik itu berlari-lari di halaman rumahnya yang berdebu, di pinggir dusun Wonokerso Pringsurat.
Dengan ceria ia kibar-kibarkan bendera kecil yang diikatkan pada sebilah bambu kecil. “Meldeka...meldeka..meldeka...”teriaknya penuh rasa bangga.
Dengan ceria ia kibar-kibarkan bendera kecil yang diikatkan pada sebilah bambu kecil. “Meldeka...meldeka..meldeka...”teriaknya penuh rasa bangga.
Bendera yang dikibarkan Sri adalah bendera Indonesia, merah putih warnanya. Disebut merah-putih (bukan putih-merah) karena warna merah berada di atas sedangkan warna putih dibagian bawah. Ini adalah standar paten bendera nasional kita.
Namun, rupanya ia tak sadar kalau bendera yang dia kibar-kibarkan itu ternyata terbalik: putih-merah. Sama tidak mengertinya ia dengan makna merdeka, kata sebenarnya dari meldeka yang ia teriakkan itu. Ah, anak perempuan berumur dua tahun itu memang belum saatnya mengerti hakekat kemerdekaan kecuali sekadar bersenang-senang acara agustusan.
Sukir duduk termangu di pematang sawah. Sejauh mata memandang sawah-sawah di hadapannya nampak kering kerontan. Bahkan retak-retak. Tanaman jagung dan beberapa jenis palawija yang ia tanam dengan penuh harap kini layu. Bahkan kering. Sungai kecil yang saat ini dibelakanginya sudah beberapa bulan ini tidak dilewati setetes air pun. Satu-satunya yang kini basah hanyalah sudut-sudut matanya.
Terbayang Markonah, istrinya yang juga kurus kering itu harus berhutang ke sana ke mari untuk sekedar menyambung hidup. Terbayang juga wajah anak-anaknya, Damai, Tentrem, Ayem, dan Sekar. Ah, andai perasaan hatinya bisa seperti nama anak-anaknya. Pematang sawahnya di dusun Madon, Sanggrahan, Kranggan ini jadi saksi bisu kegalauan hatinya.
Yu Ngatinah masih seperti hari-hari sebelumnya, berangkat ke pasar setelah subuh. Berjalan kaki. Jarak berkilo-kilo meter dari dusun Pucung, Karangwuni ke pasar Medono ditempuhnya sambil menggendong kelapa 25 buah. Walaupun sudah dikupas kulitnya, tetapi dengan jumlah sebanyak itu dan berjalan kaki pula tak urung membuat Yu Ngatinah mandi keringat.
Yu Ngatinah adalah wira usahawati, walau pun kelas anak teri. Setiap hari dia membeli hasil bumi tetangga-tetangga seperti kelapa, nangka muda, rebung dan lain-lain untuk kemudian dijual ke pasar untuk memperoleh sedikit keuntungan.
Sulistyo harus diantar keluarganya ke RSJ Magelang. Belakangan ini tingkah dan perilakunya cukup membuat repot banyak orang. Beberapa kali dia merasa sedang dikejar-kejar oleh polisi. Kali yang lain dia menganggap acara televisi, radio, dan koran selalu menyinggung dan menggosipkan dirinya. Terakhir kali dia bahkan sempat menenggak setengah botol obat pembasmi serangga.
Beruntung ada yang melihat dan berhasil membantu memuntahkannya. Barangkali statusnya sebagai seorang pengangguran dan sebagai anak laki-laki tertua yang baru beberapa bulan ditinggal meninggal Bapaknya cukup membuatnya stres berat. Walaupun dokter jiwa menyatakan tidak ada gangguan kejiwaan selain hanya depresi saja, toh tingkah polah laki-laki tamatan SMK ini membuat keluarganya kuatir jangan-jangan suatu hari nanti bisa berbuat sesuatu di luar batas.
Sri, Sukir, Yu Ngatinah dan banyak lagi yang lain tidak paham artinya merdeka. Yang mereka dengar dari cerita-cerita orang tua mereka, dulu waktu jaman penjajah kehidupan serba susah. Untuk makan ala kadarnya saja sulit.
Sekarang? Buat pegawai negeri, pejabat pemda, saudagar-saudagar di kota, bahkan para anggota DPR pasti bisa makan teratur tiga kali sehari, bahkan lebih. Namun buat Yu Ngatinah dan Sukir-Sukir yang lain, sekedar memastikan hari ini bisa makan saja terkadang sulit.
Terlebih bagi Sulistyo. Sangat mungkin di luar sana masih banyak Sulistyo-Sulistyo yang lain. Usia lebih dari 60 tahun kemerdekaan negara kita ini rupanya masih belum cukup waktu untuk menghilangkan kemiskinan, kebodohan, dan bahkan ketidakpedulian kepada sesama. Sementara Walsiyem, di Kwarakan Kaloran, tega membunuh bayi yang baru saja dia lahirkan. Konon karena putus asa dengan kesulitan ekonomi yang menderanya.
Lalu apa yang bisa kita perbuat? Sekurang-kurangnya bisa kita mulai dengan tidak membuat susah orang lain. Akan sangat lebih baik kalau kita justru bisa berbuat untuk meringankan penderitaan orang lain. Tentu dengan banyak cara.
Indonesia, maafkan mereka kalau memasang kain benderamu saja masih sering terbalik. Meldeka……!!!, eh maaf, merdeka…..?
Joko Suseno
Migran Kranggan di Tangerang
Migran Kranggan di Tangerang
0 komentar:
Posting Komentar